Cirebon (Pinmas)—Nahdlatul Ulama, organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia, mengakui bahwa reformasi yang bergulir sejak 1998 telah membawa kemajuan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
“Reformasi yang dimulai dengan amandemen UUD 1945 itu telah terbukti membawa kemajuan yang berarti. Kehidupan bangsa semakin demokratis, berbagai tindakan represi semakin berkurang, kebebasan berorganisasi, menyalurkan aspirasi politik, mengembangkan pendidikan dan dakwah semakin dirasakan oleh rakyat,” kata Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh saat berpidato pada pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu.
Namun demikian, menurut Kiai Sahal, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga dampak negatif yang timbul dari reformasi yang harus segera dicari pemecahannya, baik dalam bidang politik ketatanegaraan, maupun dalam bidang ekonomi dan kebudayaan.
“Kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan-kenyataan yang memprihatinkan, sebagai akibat buruk yang tidak kita kehendaki dari reformasi,” tandasnya.
Dikatakannya, amandemen UUD 1945 yang dilakukan dengan tergesa-gesa dan kurang cermat telah melahirkan aturan perundang-undangan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.
Keberadaan Indonesia sebagai negara kesatuan telah mengalami gangguan, ketika kebijakan otonomi daerah dilaksanakan tanpa persiapan sosial yang matang, yang berakibat pada munculnya konflik yang berkepanjangan di banyak daerah.
“Lemahnya kendali pemerintah pusat terhadap sektor-sektor strategis di daerah, telah membuat negara kesatuan ini semakin berjalan ke arah sistem semi federal. Hal ini sangat membahayakan NKRI dengan keanekaragaman etnis dan budayanya,” kata Kiai Sahal.
Demikian pula dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah. Pelaksanaan pilkada yang tidak didahului dengan persiapan sosial yang matang, telah menimbulkan berbagai konflik horizontal.
“Di samping itu, sistem ini berimplikasi pada penggunaan politik uang yang sangat meracuni moralitas bangsa. Hal itu juga tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila yang menekankan pada sistem permusyawaratan dan perwakilan, bukan pada sistem ‘‘one man one vote’‘,” kata Kiai Sahal.
Menurutnya, untuk memperkuat sistem permusyawaratan dan perwakilan, kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD harus ditata secara proporsional.
“Demikian pula keberadaan kelompok adat dan kelompok minoritas yang tidak terwakili dalam sistem pemilihan saat ini, harus dikukuhkan kembali,” katanya.
Kiai Sahal mengatakan, NU bersama-sama dengan elemen-elemen bangsa yang lain wajib mencarikan solusi bagi masalah-masalah tersebut.
“Untuk itulah, dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU kali ini, NU mengajak agar bangsa ini kembali ke khitthah Indonesia 1945, dalam arti kembali kepada semangat Proklamasi, kembali kepada nilai-nilai Pancasila serta amanat Pembukaan UUD 1945,” katanya.
Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU akan digelar hingga 17 September. Dijadwalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan hadir di hari terakhir perhelatan tertinggi kedua setelah muktamar itu.(ant/ess)
“Reformasi yang dimulai dengan amandemen UUD 1945 itu telah terbukti membawa kemajuan yang berarti. Kehidupan bangsa semakin demokratis, berbagai tindakan represi semakin berkurang, kebebasan berorganisasi, menyalurkan aspirasi politik, mengembangkan pendidikan dan dakwah semakin dirasakan oleh rakyat,” kata Rais Aam PBNU KH MA Sahal Mahfudh saat berpidato pada pembukaan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar NU di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat, Sabtu.
Namun demikian, menurut Kiai Sahal, tidak bisa dipungkiri bahwa ada juga dampak negatif yang timbul dari reformasi yang harus segera dicari pemecahannya, baik dalam bidang politik ketatanegaraan, maupun dalam bidang ekonomi dan kebudayaan.
“Kita tidak boleh menutup mata terhadap kenyataan-kenyataan yang memprihatinkan, sebagai akibat buruk yang tidak kita kehendaki dari reformasi,” tandasnya.
Dikatakannya, amandemen UUD 1945 yang dilakukan dengan tergesa-gesa dan kurang cermat telah melahirkan aturan perundang-undangan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.
Keberadaan Indonesia sebagai negara kesatuan telah mengalami gangguan, ketika kebijakan otonomi daerah dilaksanakan tanpa persiapan sosial yang matang, yang berakibat pada munculnya konflik yang berkepanjangan di banyak daerah.
“Lemahnya kendali pemerintah pusat terhadap sektor-sektor strategis di daerah, telah membuat negara kesatuan ini semakin berjalan ke arah sistem semi federal. Hal ini sangat membahayakan NKRI dengan keanekaragaman etnis dan budayanya,” kata Kiai Sahal.
Demikian pula dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah. Pelaksanaan pilkada yang tidak didahului dengan persiapan sosial yang matang, telah menimbulkan berbagai konflik horizontal.
“Di samping itu, sistem ini berimplikasi pada penggunaan politik uang yang sangat meracuni moralitas bangsa. Hal itu juga tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila yang menekankan pada sistem permusyawaratan dan perwakilan, bukan pada sistem ‘‘one man one vote’‘,” kata Kiai Sahal.
Menurutnya, untuk memperkuat sistem permusyawaratan dan perwakilan, kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD harus ditata secara proporsional.
“Demikian pula keberadaan kelompok adat dan kelompok minoritas yang tidak terwakili dalam sistem pemilihan saat ini, harus dikukuhkan kembali,” katanya.
Kiai Sahal mengatakan, NU bersama-sama dengan elemen-elemen bangsa yang lain wajib mencarikan solusi bagi masalah-masalah tersebut.
“Untuk itulah, dalam Munas Alim Ulama dan Konbes NU kali ini, NU mengajak agar bangsa ini kembali ke khitthah Indonesia 1945, dalam arti kembali kepada semangat Proklamasi, kembali kepada nilai-nilai Pancasila serta amanat Pembukaan UUD 1945,” katanya.
Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar NU akan digelar hingga 17 September. Dijadwalkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan hadir di hari terakhir perhelatan tertinggi kedua setelah muktamar itu.(ant/ess)
0 komentar:
Posting Komentar